HUT RI ke-70, Santri Juga Melawan Belanda
Memutar kembali memori di tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia
merdeka. Melalui sang orator Bung Karno naskah proklamasi telah
dibacakan. Dengan bersorak ramai bangsa Indonesia saling melontarkan
kalimat “MERDEKA” yang mengungkapan rasa kebahagiaan mereka melepas
belenggu penjajahan belanda.
Bangsa Indonesia yang baru saja gegap-gempita menjadi negara merdeka
menghadapi ancaman yang besar, perjuangan yang gigih harus dilakukan
oleh bangsa Indonesia, penuh dengan tumpahan darah para pahlawan sebagai
wujud pengorbanan. Para pejuang, tentara dan rakyat mengangkat senjata
di bahu mereka menuju medan perang yang penuh dengan lautan api akibat
digempur oleh pasukan belanda.
Peperangan besar pun meletus di bumi Indonesia untuk merebut
kemerdekaan. Bandung lautan api, pertempuran Lima Hari di kota Semarang,
pertempuran Ambarawa, pertempuran Mojokerto, pertempuran 10 november di
Surabaya dll.
Jejak sejarah peperangan besar Indonesia ini tidak sepi dari
keterlibatan para ulama’ dan golongan santri. Mereka ikut andil dan
berpartisipasi besar dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Serentetan peperangan menarik hati nurani mereka untuk mempertahankan
tanah air dan kemerdekaan dengan berslogankan Hubbul Wathan Minal Iman.
Pada waktu itu terbentuk tentara Hizbullah dan tentara Sabilillah
yang dikomandoi langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari, pelatihan-pelatihan
militer para pejuang yang dilakukan di pesantren-pesantren yang berada
di pelosok-pelosok desa dan juga adanya Jaringan tarekat dan santri
kelana yang menjadi penyampai informasi dan propaganda dari satu tempat
ke tempat lain. Ada juga kisah mengenai pergerakan massa dari pesantren
di kawasan Mataraman ke Surabaya, bahkan dari pesantren nun jauh di
Cirebon. Ada juga kisah-kisah mengenai aktivitas para santri yang
menyiapkan makanan di barak-barak para pejuang.
Bahkan santri-santri pada waktu itu juga mampu menunjukkan prestasi
mereka ketika di medan laga, diketahui bahwa Cak Asy’ari yang menyobek
warna biru dalam bendera merah putih biru di depan hotel Yamato sebelum
terjadi pertempuran besar-besaran di Surabaya adalah seorang kader Ansor
NU yang notabene adalah seorang santri dan yang telah meenyebabkan
tewasnya jenderal A.W.S Mallaby ketika pertempuran 10 November di kota
Surabaya adalah kang Harun salah seorang santri dan murid KH. Hasyim
Asy’ari di tebu ireng.
Oleh karena itu, perjuangan santri tidak boleh berhenti ketika waktu
merdeka telah berdetik tetapi jika di hari ini santri-santri juga harus
ikut andil berjuang membangun negara, memakmurkan negara, menegakkan
keadilan dan kesejahteraan dan pastinya juga menegakkan amar ma’ruf nahi
munkar, tidak lupa akan sejarah bangsanya sendiri karena santri itu
adalah pemuda karena yang muda yang bersejarah.
www.nu.or.id, Resolusi Jihad: Urat Nadi Perang Mempertahankan NKRI,Oleh Zainul Milal Bizawie
www.nu.or.id,Kepahlawanan Kaum Santri, Oleh A. Khoirul Anam