Negara kita adalah negara yang menganut sistem
demokrasi. Presiden maupun anggota DPR harus dipilih langsung oleh
rakyat lewat Pemilihan Umum. Kita sebagai rakyat Muslim Indonesia
haruslah memilih pemimpin-pemimpin yang mampu memperjuangkan hak-hak
rakyat, lebih dari itu mereka harus bisa mengoptimalkan jabatan mereka
untuk tujuan kejayaan agama Islam dan masyarakat Muslim (izzul Islam wal
Muslimin).
Memang, sistem demokrasi adalah produk Barat, dan partai-partai
adalah buatan penjajah yang dipasarkan ke negara-negara yang penduduknya
mayoritas Muslim. Akan tetapi kita harus mempertimbangkan untuk ikut
dalam Pemilihan Umum. Kita ikut dalam sistem tersebut adalah dharurat.
Sistem tersebut seperti sudah baku, merubahnya akan sulit dan
menimbulkan kemadharatan jika tidak didukung SDM Muslim yang mempunyai
pemahaman agama yang dalam serta berakhlaqul karimah.
Sudah difatwakan MUI bahwa kita dilarang golput dalam pemilihan umum.
Dasar Fatwa MUI adalah dalam Islam mengangkat pemimpin ialah wajib
menurut konsensus ulama. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul dan
Ulil Amr di antara kalian.” Kemudian jika kalian berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Akhir. Yang demikian itu
lebih utama (bagi kalian) dan lebih baik akibatnya” (QS. An-Nisa [4]:
59).
Rasulullah SAW bersabda:
لَا يَحِلُّ لِثَلَاثَةٍ يَكُوْنُوْن بِفَلَاةٍ مِنَ الأَرْضِ إِلَّا أَمَّرُوا عَنْهُم أَحَدَهُم - رواه البخاري
"Tidaklah halal bagi tiga orang manusia yang berada di atas bumi, kecuali memilih salah satu diantara mereka sebagai pemimpinnya".
Dalam bingkai ke-Indonesia-an, mekanisme dalam memilih pemimpin lewat sarana pemilihan umum.
Dalam kaidah fiqh dijelaskan:
مَا لَا يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“Perkara yang menjadi penentu senyempurnanya suatu kewajiban itu dihukumi wajib.”
لِلْوَسَائِلِ حُكْمُ المَقَاصِدِ
“Hukum wasilah/sarana adalah sama dengan hukum tujuan.”
Dan kita sebagai orang Muslim haruslah memilih partai Islam dan yang
berasaskan Islam. Tidak boleh ikut ke partai pluralis sekuler yang
memasukkan orang Muslim dan non Muslim, sehingga non Muslim pun bisa
menjadi caleg partainya, meski partai tersebut mengaku berasal dari
ormas Islam.
Syaikh Al Allamah Abu Fadlal Senori dalam kitabnya Madzhab Al
Munadhimah Huwa Madzhab Al Muassia Laha menyebutkan : “Aku berkata,
‘semua hal ini, bila orang yang masuk dalam pemerintah dan memperkuat
anggota Partai Nasionalis Sekuler dan mengalahkan partai kaum Muslimin
yang mempunyai maksud untuk menegakkan kalimat Allah dan merealisasikan
hukum-hukum Islam di bumi Allah. Hukum wajibnya masuk dalam partai Islam
sangat jelas daripada sinar matahari disiang hari.Karena hukum washaail
(sarana) adalah masuk hukum maqashid (tujuan).”
Menegakkan syariat Islam atau memasukkan nilai-nilai Islam secara
maksimal, haruslah lewat kebijakan dari pemerintah serta keputusan dari
DPR. Itu semua harus ada usaha memasukkan orang adil yang punya komitmen
keislaman yang kuat ke dalam lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif
seperti DPR, bupati, gubernur bahkan presiden.
Dari keterangan diatas, pilihan kita harus tertuju ke partai Islam
yang memperjuangkan kalimat Allah dan tentulah ini harus memilih
caleg-caleg yang beriman kuat, dan tidak korup agar hak-hak rakyat tidak
ada yang terengggut.
Pemimpin dalam Islam sudah jelas, ia harus orang Islam yang bertakwa,
sehat jasmani dan rohani, cerdas dan bisa bersikap adil. Ada sebuah
asumsi yang mengatakan kepimpinan yang membawahi masyarakat Muslim cukup
dengan dari orang yang adil saja, meski ia dari golongan non Muslim.
Padahal banyak sekali ayat yang melarang menjalin teman setia dengan non
Muslim, entah teman hubungan sosial polotik maupun menjadi pemimpin
masyarakat. Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ - النساء : 144
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang
kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.” (Q.S An Nisa' : 144)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً - آل عمران : 118
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil
menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu” (Q.S
Ali Imran: 118)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا
عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ - الممتحنة : 1
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu
sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih
sayang”
Kita juga perlu menengok sejarah kemerdekaan Negara kita Indonesia,
Tim Sembilan yang dibentuk BPUPK, atau yang dikenal dengan sebutan para
founding father negara Indonesia. Mereka bertugas merumuskan dasar
negara bagi Indonesia merdeka. Mereka menandatangani rancangan Pembukaan
Undang-undang Dasar negara RI yang berikutnya dikenal sebagai Piagam
Jakarta tersebut. Namun Piagam Jakarta tersebut hanya bertahan 24 jam
karena ada desakan dari tokoh Kristen Piagam Jakarta yang sudah
disepakati di BPUPK dihapus, dengan alasan ada keberatan dari pihak
Kristen Indonesia Timur. Konon, datang seorang utusan dari Indonesia
Bagian Timur, melalui opsir Tentara Jepang yang waktu itu masih
berwenang di Jakarta. Utusan tersebut menyampaikan pesan kepada Soekarno
dan Hatta untuk mencabut “tujuh kata” yang tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945. Kalau tidak, umat Kristen di Indonesia sebelah Timur tidak
akan turut serta dalam negara Republik Indonesia yang baru saja
diproklamirkan. Lalu akhirnya dari kalangan Islam pun harus rela
membuang tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi “kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya”.
Menurut kami hal tersebut karena kelemahan dari kita, yakni para
founding father didominasi oleh orang yang beraliran sekuler dan
Kristen. Kalau kita teliti mereka yang berjumlah sembilan, dari golongan
nasionalis sekuler ada empat (Soekarno, Moh. Hatta, Ahmad Subardjo, dan
Muhammad Yamin) dari pihak Kristen satu orang (AA. Maramis) sedang
golongan nasionalis Islam hanya berjumlah empat (Wahid Hasyim, Abikusno
Tjokrosujoso, Abdul Kahar muzakir, dan Haji Agus Salim). Maka dari
sinilah (panitia Sembilan) terciptalah ideologi (dasar) negara kita
menjadi Pancasila.
Oleh karena itu pemimpin haruslah mempunyai ideologi yang kuat
tentang Islam. Pemimpin yang adil dan amanat memang bisa membawa rakyat
sejahtera, akan tetapi tidak cukup bertujuan mensejahterakan rakyat
saja, kita juga harus memperhatikan ideologi syariat Islam. Syariat
Islam agar bisa tegak di bumi tercinta. Sayidina Umar, dalam qunutnya
beliau mengucapkan doa meninggalkan (tidak mengambilnya
kekasih/pemimpin) terhadap orang-orang kafir (ahli maksiat),
ونخلع ونترك من يفجرك
Dan kami copot dan tinggal orang-orang yang kufur/maksiat kepada Engkau
Kriteria Pemimpin Dalam Islam:
Banyak sekali ayat al-Qur’an dan Hadis menyebutkan bagaimana
hendaknya setiap orang yang Nabi katakan sebagai pemimpin baik bagi diri
dan keluarganya, dan terlebih mereka yang menyatakan diri siap sebagai
pemimpin bagi masyarakat, bersikap dan berperilaku dalam kehidupan
mereka sehari-hari, di antaranya adalah:
- Mengajak Bertaqwa Kepada Allah
- Adil Kepada Semua Orang Dan Tidak Pandang Bulu
- Menegakkan Amar Ma’ruf Nahi Munkar
- Menjadi Suri Tauladan Yang Baik Bagi Masyarakat
- Mendorong Kerja Sama Dalam Memperjuangkan Kesejahteraan Bersama
- Mengukuhkan Tali Persaudaraan dan Kesatuan dan Persatuan
- Akomodatif, Pemaaf, Merangkul Semua Golongan dan Mengedepankan Musyawarah Dalam Setiap Mengambil Keputusan Penting Untuk Masyarakat
- Jujur dan Amanat
- Berwawasan Dan Berpengetahuan Luas dan Mencintai Ilmu Pengetahuan
- Teguh Pendirian, Tegar dan Sabar Dalam Menghadapi Ujian